MAKALAH
KONFLIK YANG TERJADI ANTAR INDIVIDU MAUPUN KELOMPOK
(Menggunakan Teori Konflik Ralf
Dahrendorf )
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah : Sosiologi
Dosen Pengampu : Syamsul Bakhri, M.Sos.
Disusun oleh :
1.
Monica
Trywidyaningrum (3118034)
PROGRAM STUDY ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
IAIN PEKALONGAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam menyelesaikan masalah
social dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut
lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Di
zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih
berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami
disjungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan
mengakibatkan konflik.
Teori konflik ini menjadi relevan di saat ia
mengkritik bahwa suatu masyarakat jika dalam fungsinya kemudian terjadi
perubahan, perkembangan cenderung lebih lambat. Karena salah satu tokoh Ralf
Dahrendorf menyebutkan bahwa masyarakat itu tidak selalu seimbang akan tetapi
akan mengalami perubahan pada masyarakat itu sendiri. Sebagai landasan dasar
teori Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel (seperti yang dilakukan Coser)
melainkan membangun teori dengan separuh penolakan, separuh penerimaan dan
modifikasi teori sosiologi Karl Marx.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Konflik?
2.
Bagaimana
Pandangan Teori Konflik Ralf Dahendorf?
3.
Bagaimana
Penyebab Konflik Menurut Pandangan Ralf Dahendorf?
4.
Contoh
Konflik Menurut Pandangan Ralf Dahendorf?
C.
Tujuan Makalah
1.
Agar Dapat Mengetahui Pengertian
Konflik
2.
Agar
Dapat Mengetahui Pandangan
Teori Konflik Ralf Dahendorf
3.
Agar Dapat Mengetahui Penyebab
Konflik Menurut Pandangan Ralf Dahendorf
4.
Agar Dapat Mengetahui Pandangan Ralf Dahendorf Mengenai Konflik Yang Terjadi
Antar Individu Ataupun Kelompok
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Konflik
Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin
configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik berarti persepsi
mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara
simultan.Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antaranggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan
hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.[1]
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan.
Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang
bersifat menyeluruh dikehidupan.[2]
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak
lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.[3]
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial
yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang
saling menantang dengan ancaman kekerasan.[4]
Konflik
merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang
mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin,
strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan,
aliran politik, serta budaya dan tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia,
perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama masih ada perbedaan
tersebut, konflik tidak dapat dihindarkan dan selalu akan terjadi.[5]
Konflik dapat
terjadi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok dan antara
organisasi-organisasi. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada
pandangan yang sama sekali bertentangan tanpa ada kompromi, kemudian menarik
kesimpulan yang berbeda dan cenderung bersifat tidak toleran, maka dapat
dipastikan akan timbul konflik tertentu.[6]
Ada dua macam
konflik yang terjadi, yaitu konflik substantif dan konflik emosional. Konflik
subtantif (subtantive conflicts) meliputi ketidak sesuaian paham tentang
hal-hal seperti: tujuan-tujuan, alokasi sumber daya, kebijakan-kebijakan, serta
penugasan- penugasan. Sedangkan konflik emosional (emotional conflicts) timbul
karena perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap
menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian. Kedua macam konflik ini akan
selalu muncul pada setiap organisasi. Meskipun demikian, konflik tidak perlu
dihindari apalagi ditakuti. Konflik hanya butuh penyelesaian yang baik, karena
konflik apabila dikelola dengan benar justru berubah menjadi kekuatan baru yang
sangat besar dalam berinovasi serta sangat potensial untuk pengembangan sebuah
organisasi.
B. Pandangan Teori Konflik Ralf
Dahendorf
Teori konflik dipahami melalui suatu
pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan
saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada
dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan
konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan
perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya
atas orang lain.[7]
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik Dahrendorf dimana manusia
adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan
perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses
perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas
dasar dominasi yang menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Teori
konflik memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.
Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan
dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan
Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu
menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis.
C. Penyebab Konflik Menurut Pandangan
Ralf Dahendorf
Teori
konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah
karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya
bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa
memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan
kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada
paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.[8]
Teori ini dibangun dalam rangka
untuk menentang secara langsung terhadap teori Fungsional Struktural. Karena
itu tidak mengherankan apabila proposisi yangdikemukakan oleh penganutnya
bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori Fungsional Struktural.[9]
Dahrendorf mula-mula melihat teori
konflik sebagai teori parsial, menganggap teori itu merupakan perspektif yang
dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf menganggap
masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.[10]
Dahrendorf berpendapat bahwa
konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten, kelompok
kepentingan dan kelompok semu, posisi dan otoritas merupakan unsur-unsur dasar
untuk dapat menerangkan bentuk-bentuk dari konflik.[11]
Teori konflik Dahrendorf adalah
hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendorf mengakui pentingnya
pemikiran Lewis Coser yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam
mempertahankan status quo. Tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif
dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial, konflik juga menyebabkan
perubahan dan perkembangan. Singkatnya, Dahrendorf menyatakan bahwa segera
setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang
menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.[12]
Pierre van den Berghe mengemukakan
empat fungsi dari konflik:
1.Sebagai alat
untuk memelihara solidaritas
2.Membantu
menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain
3.Mengaktifkan
peranan individu yang semula terisolasi
4.Fungsi
komunikasi.[13]
Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat
modern dan industrial sebagai kekuasaan. Relasi wewenang yaitu selalu relasi
antara super dan subordinasi.Dimana ada relasi wewenang, kelompok-kelompok
superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok subordinasi
melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan.Berbagai harapan
tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual. Saat
kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan
kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi.
D.
Contoh Konflik Pandangan Ralf Dahrendorf
Konflik yang terjadi antara pedagang Pasar Raya dengan
Pemko Padang jika merujuk pada teori otoritas Dahrendorf, maka dapat
disimpulkan bahwa Pemko Padang merupakan pihak pemegang otoritas sementara para
pedagang adalah pihak yang tidak memegang otoritas.Dalam hal ini, pedagang
berada pada posisi ketidakbebasan yang dipaksakan.Sementara itu, Pemko Padang
didelegasikan kekuasaan dan otoritas.Maka dari itu, Pemko Padang memiliki
kewenangan untuk mengelola pasar yang merupakan asset Negara.[14]
Konflik yang terjadi bersumber pada perbedaan pendapat
mengenai pembangunan kembali Pasar Raya Padang Inpres II, III dan IV setelah
rusak pascagempa tanggal 30 September 2009. Perbedaan kepentingan menjadi latar
belakang munculnya konflik pasar. Berbagai permasalahan dapat disimpulkan
sebagai berikut.Pertama, terjadinya konflik antar warga Pasar Raya dengan
Pemerintah disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan alternatif
pembangunan Pasar Raya. Walikota sebagai pemimpin Pemko Padang, pertama kali
melontarkan ide untuk membangun kembali Pasar Raya menjadi bangunan pasar yang
modern (mall).Tujuan dari pembangunan tersebut agar bangunan Pasar Raya lebih
nyaman untuk dijadikan tempat jual-beli. Sebab, pascagempa 2009 lalu Pasar Raya
Padang semakin semrawut, saluran drainase tersumbat yang menyebabkan becek,
sampah-sampah menumpuk, tata ruang pasar tidak terurus dan sebagainya.
Isu kedua, bahwa pasar akan dibangun oleh
investor. Kata investor merupakan sosok yang ditakuti oleh para pedagang.
Mekanisme pasar sebagai pasar tradisional kemungkinan akan diganti dengan
mekanisme bisnis dengan untung yang sebesar besarnya. Isu yang dibangun
investor ditambah lagi dengan isu kurangnya ruang di dalam pasar. Para pedagang
takut jika mereka tidak mendapatkan tempat berdagang setelah pasar modern
dibangun.
Ketiga, perbedaan kepentingan tersebut telah melahirkan
konflik yang nyata antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan warga
pasar sebagai pihak yang dikuasai. Pemerintah ingin menggunakan otoritasnya
sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan bentuk bangunan Pasar Raya. Alasan
Kota Padang dimasa depan dan untuk menambah pemasukan PAD menjadikan landasan
untuk menjadikan Pasar Raya menjadi pasar modern. Tragedi Sentral Pasar Raya
(SPR) yang dibangun diatas terminal angkutan kota beberapa tahun lalu nyatanya
telah menyingkirkan pedagang kecil. Para pedagang tidak ingin hal itu terulang
lagi. Para pedagang takut jika pedagang besar dengan modal besar masuk dan
membeli lahan di pasar yang baru. Pedagang pasar sebagai pihak yang dikuasai
oleh pemda tidak lagi punya otoritas untuk menentangnya terlebih lagi untuk
menagih janji. Warga pasar sebagai yang dikuasai berusaha untuk melawan
pemegang kekuasaan. Konflik pun muncul ketika pemegang kekuasaan bertahan dalam
menggunakan kekuasaannya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Teori
konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme
struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori
Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial
yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu
usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya
atau memproleh kepentingan sebesar-besarnya.
Dahrendorf
menjelaskan penyebab konflik dalam 6 teori utama: Teori hubungan masyarakat;
Teori negosiasi; Teori kebutuhan manusia; Teori identitas; Teori
kesalahpahaman; Teori transformasi
Contoh
konflik menurut pandangan Ralf Dahrendorf Konflik yang terjadi antara pedagang
Pasar Raya dengan Pemko Padang jika merujuk pada teori otoritas Dahrendorf,
maka dapat disimpulkan bahwa Pemko Padang merupakan pihak pemegang otoritas
sementara para pedagang adalah pihak yang tidak memegang otoritas.Dalam hal
ini, pedagang berada pada posisi ketidakbebasan yang dipaksakan.Sementara itu,
Pemko Padang didelegasikan kekuasaan dan otoritas.Maka dari itu, Pemko Padang
memiliki kewenangan untuk mengelola pasar yang merupakan asset Negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Wirawan,2010 Konflik Dan
Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi Dan Penelitian, Jakarta: Salemba
Humanika,
Winardi,2007 Manajemen
Konflik, (Konflik Perubahan Dan Pengembangan), Bandung: Mandar Maju,
Pruit&Rubin
dalam Novri Susan.2010,Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.Jakarta:Kencana.
Ritzer, George,
2010 Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,
Margaret M. Poloma, 2010, Sosiologi Kontemporer, Jakarta:
CV. Rajawali
Douglas J. Goodman, George
Ritzer, 2004, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media
http://Dahendorfteorikonflik.com di akses 5 November 2013 pukul 15:10 WIB
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, Jakarta: Balai Pustaka
Soekanto, Soerjono, 1993 Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Bagong Suyanto,
J. Dwi Narwoko,2005, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
hal.587.
[3] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1993), hal.99
[4] J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal68.
[5] Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi Dan
Penelitian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), 1
[6] Winardi, Manajemen
Konflik, (Konflik Perubahan Dan Pengembangan), ( Bandung: Mandar Maju,
2007), Cet. Ke-2, Jilid 2, H.3. 3 Ibid., H.5
[7] Pruit&Rubin dalam Novri Susan. Pengantar
Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer.(Jakarta:Kencana.2010)
hal 117
[8] Pruit&Rubin dalam Novri Susan. Pengantar
Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer.(Jakarta:Kencana.2010) hal 117
[9]
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.26.
[10]
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali,
2000), hal.131.
[11]
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.27.
[12] George Ritzer dan
Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media,
2004), hal.157.
[13] George Ritzer dan
Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media,
2004), hal.156.