Selasa, 17 Desember 2019

KONFLIK YANG TERJADI ANTAR INDIVIDU MAUPUN KELOMPOK (Menggunakan Teori Konflik Ralf Dahrendorf )


MAKALAH
KONFLIK YANG TERJADI ANTAR INDIVIDU MAUPUN KELOMPOK
(Menggunakan Teori Konflik Ralf Dahrendorf )
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah : Sosiologi
Dosen Pengampu : Syamsul Bakhri, M.Sos.




 

Disusun oleh :
1.      Monica Trywidyaningrum            (3118034)

PROGRAM STUDY ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
IAIN PEKALONGAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam menyelesaikan masalah social dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik.
Teori konflik ini menjadi relevan di saat ia mengkritik bahwa suatu masyarakat jika dalam fungsinya kemudian terjadi perubahan, perkembangan cenderung lebih lambat. Karena salah satu tokoh Ralf Dahrendorf menyebutkan bahwa masyarakat itu tidak selalu seimbang akan tetapi akan mengalami perubahan pada masyarakat itu sendiri. Sebagai landasan dasar teori Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel (seperti yang dilakukan Coser) melainkan membangun teori dengan separuh penolakan, separuh penerimaan dan modifikasi teori sosiologi Karl Marx.

B.                 Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pengertian Konflik?
2.        Bagaimana Pandangan Teori Konflik Ralf Dahendorf?
3.        Bagaimana Penyebab Konflik Menurut Pandangan Ralf Dahendorf?
4.        Contoh Konflik Menurut Pandangan Ralf Dahendorf?
C.                Tujuan Makalah
1.         Agar Dapat Mengetahui Pengertian Konflik
2.        Agar Dapat Mengetahui Pandangan Teori Konflik Ralf Dahendorf
3.         Agar Dapat Mengetahui Penyebab Konflik Menurut Pandangan Ralf Dahendorf
4.        Agar Dapat Mengetahui Pandangan Ralf Dahendorf Mengenai Konflik Yang Terjadi Antar Individu Ataupun Kelompok



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Konflik
Istilah konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dicapai secara simultan.Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antaranggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.[1]
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan.[2]
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.[3]
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.[4]
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai karakteristik yang beragam. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik, serta budaya dan tujuan hidupnya. Dalam sejarah umat manusia, perbedaan inilah yang selalu menimbulkan konflik. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindarkan dan selalu akan terjadi.[5]
Konflik dapat terjadi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok dan antara organisasi-organisasi. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada pandangan yang sama sekali bertentangan tanpa ada kompromi, kemudian menarik kesimpulan yang berbeda dan cenderung bersifat tidak toleran, maka dapat dipastikan akan timbul konflik tertentu.[6]
Ada dua macam konflik yang terjadi, yaitu konflik substantif dan konflik emosional. Konflik subtantif (subtantive conflicts) meliputi ketidak sesuaian paham tentang hal-hal seperti: tujuan-tujuan, alokasi sumber daya, kebijakan-kebijakan, serta penugasan- penugasan. Sedangkan konflik emosional (emotional conflicts) timbul karena perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian. Kedua macam konflik ini akan selalu muncul pada setiap organisasi. Meskipun demikian, konflik tidak perlu dihindari apalagi ditakuti. Konflik hanya butuh penyelesaian yang baik, karena konflik apabila dikelola dengan benar justru berubah menjadi kekuatan baru yang sangat besar dalam berinovasi serta sangat potensial untuk pengembangan sebuah organisasi.
B.       Pandangan Teori Konflik Ralf Dahendorf
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.[7]
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik Dahrendorf dimana manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Teori konflik memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis.
C.      Penyebab Konflik Menurut Pandangan Ralf Dahendorf
Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan, sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.[8]
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori Fungsional Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yangdikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori Fungsional Struktural.[9]
Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori itu merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Dahrendorf menganggap masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.[10]
Dahrendorf berpendapat bahwa konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan kepentingan laten, kelompok kepentingan dan kelompok semu, posisi dan otoritas merupakan unsur-unsur dasar untuk dapat menerangkan bentuk-bentuk dari konflik.[11]
Teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran Lewis Coser yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo. Tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial, konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan. Singkatnya, Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.[12]
Pierre van den Berghe mengemukakan empat fungsi dari konflik:
1.Sebagai alat untuk memelihara solidaritas
2.Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain
3.Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi
4.Fungsi komunikasi.[13]
 Dahrendorf memandang wewenang dalam masyarakat modern dan industrial sebagai kekuasaan. Relasi wewenang yaitu selalu relasi antara super dan subordinasi.Dimana ada relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan.Berbagai harapan tertanam relative permanent dalam posisi sosial pada karakter individual. Saat kekuasaan merupakan tekanan satu sama lain, maka kekuasaan dalam hubungan kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimasi.
D.                       Contoh Konflik Pandangan Ralf Dahrendorf
Konflik yang terjadi antara pedagang Pasar Raya dengan Pemko Padang jika merujuk pada teori otoritas Dahrendorf, maka dapat disimpulkan bahwa Pemko Padang merupakan pihak pemegang otoritas sementara para pedagang adalah pihak yang tidak memegang otoritas.Dalam hal ini, pedagang berada pada posisi ketidakbebasan yang dipaksakan.Sementara itu, Pemko Padang didelegasikan kekuasaan dan otoritas.Maka dari itu, Pemko Padang memiliki kewenangan untuk mengelola pasar yang merupakan asset Negara.[14]
Konflik yang terjadi bersumber pada perbedaan pendapat mengenai pembangunan kembali Pasar Raya Padang Inpres II, III dan IV setelah rusak pascagempa tanggal 30 September 2009. Perbedaan kepentingan menjadi latar belakang munculnya konflik pasar. Berbagai permasalahan dapat disimpulkan sebagai berikut.Pertama, terjadinya konflik antar warga Pasar Raya dengan Pemerintah disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan alternatif pembangunan Pasar Raya. Walikota sebagai pemimpin Pemko Padang, pertama kali melontarkan ide untuk membangun kembali Pasar Raya menjadi bangunan pasar yang modern (mall).Tujuan dari pembangunan tersebut agar bangunan Pasar Raya lebih nyaman untuk dijadikan tempat jual-beli. Sebab, pascagempa 2009 lalu Pasar Raya Padang semakin semrawut, saluran drainase tersumbat yang menyebabkan becek, sampah-sampah menumpuk, tata ruang pasar tidak terurus dan sebagainya.
Isu kedua, bahwa pasar akan dibangun oleh investor. Kata investor merupakan sosok yang ditakuti oleh para pedagang. Mekanisme pasar sebagai pasar tradisional kemungkinan akan diganti dengan mekanisme bisnis dengan untung yang sebesar besarnya. Isu yang dibangun investor ditambah lagi dengan isu kurangnya ruang di dalam pasar. Para pedagang takut jika mereka tidak mendapatkan tempat berdagang setelah pasar modern dibangun.
 Ketiga, perbedaan kepentingan tersebut telah melahirkan konflik yang nyata antara pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dengan warga pasar sebagai pihak yang dikuasai. Pemerintah ingin menggunakan otoritasnya sebagai pemegang kekuasaan dalam menentukan bentuk bangunan Pasar Raya. Alasan Kota Padang dimasa depan dan untuk menambah pemasukan PAD menjadikan landasan untuk menjadikan Pasar Raya menjadi pasar modern. Tragedi Sentral Pasar Raya (SPR) yang dibangun diatas terminal angkutan kota beberapa tahun lalu nyatanya telah menyingkirkan pedagang kecil. Para pedagang tidak ingin hal itu terulang lagi. Para pedagang takut jika pedagang besar dengan modal besar masuk dan membeli lahan di pasar yang baru. Pedagang pasar sebagai pihak yang dikuasai oleh pemda tidak lagi punya otoritas untuk menentangnya terlebih lagi untuk menagih janji. Warga pasar sebagai yang dikuasai berusaha untuk melawan pemegang kekuasaan. Konflik pun muncul ketika pemegang kekuasaan bertahan dalam menggunakan kekuasaannya.






BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Teori konflik Ralf Dahrendorf muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik dalam masyarakat. Teori Konflik adalah suatu perspektif yang memandang masyarakat sebagai sistem sosial yang terdiri atas kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dimana ada suatu usaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingan lainnya atau memproleh kepentingan sebesar-besarnya.
Dahrendorf menjelaskan penyebab konflik dalam 6 teori utama: Teori hubungan masyarakat; Teori negosiasi; Teori kebutuhan manusia; Teori identitas; Teori kesalahpahaman; Teori transformasi
Contoh konflik menurut pandangan Ralf Dahrendorf Konflik yang terjadi antara pedagang Pasar Raya dengan Pemko Padang jika merujuk pada teori otoritas Dahrendorf, maka dapat disimpulkan bahwa Pemko Padang merupakan pihak pemegang otoritas sementara para pedagang adalah pihak yang tidak memegang otoritas.Dalam hal ini, pedagang berada pada posisi ketidakbebasan yang dipaksakan.Sementara itu, Pemko Padang didelegasikan kekuasaan dan otoritas.Maka dari itu, Pemko Padang memiliki kewenangan untuk mengelola pasar yang merupakan asset Negara.







DAFTAR PUSTAKA
 http://analiliskonflikDahendorf.com diakses pada tanggal 2 November 2013 pukul 11:05 WIB
Wirawan,2010 Konflik Dan Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi Dan Penelitian, Jakarta: Salemba Humanika,

Winardi,2007 Manajemen Konflik, (Konflik Perubahan Dan Pengembangan), Bandung: Mandar Maju,
Pruit&Rubin dalam Novri Susan.2010,Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik  Kontemporer.Jakarta:Kencana.
Ritzer, George, 2010 Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
Margaret M. Poloma, 2010, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: CV. Rajawali
Douglas J. Goodman, George Ritzer, 2004, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media

http://Dahendorfteorikonflik.com di akses 5 November 2013 pukul 15:10 WIB
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, Jakarta: Balai Pustaka

Soekanto, Soerjono, 1993 Kamus Sosiologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Bagong Suyanto, J. Dwi Narwoko,2005, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group




[1] http://analiliskonflikDahendorf.com diakses pada tanggal 2 November 2013 pukul 11:05 WIB
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.587.
[3] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal.99
[4] J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal68.
[5] Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik; Teori, Aplikasi Dan Penelitian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), 1
[6] Winardi, Manajemen Konflik, (Konflik Perubahan Dan Pengembangan), ( Bandung: Mandar Maju, 2007), Cet. Ke-2, Jilid 2, H.3. 3 Ibid., H.5
[7] Pruit&Rubin dalam Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik  Kontemporer.(Jakarta:Kencana.2010) hal 117
[8] Pruit&Rubin dalam Novri Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik  Kontemporer.(Jakarta:Kencana.2010) hal 117
[9] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.26.
[10] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV. Rajawali, 2000), hal.131.
[11] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal.27.
[12] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.157.
[13] George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.156.
[14]  http://Dahendorfteorikonflik.com di akses 5 November 2013 pukul 15:10 WIB